Monday, November 5, 2007

Russberg Traditional Sosage

Here is my article I wrote in the national newspaper KOMPAS. It's about traditional food, traditional sosis from Rußberg, Germany. I believe this food is your daily menu but don't be hesitate to try the traditional one there. This will be served together with a glass of beer and traditional bread from traditional oven. Usually, some bikers and old people stopped by to be relax there. Hmmm ...

KOMPAS Update: Jumat, 25/08/2006, 11:34 wib
Resto Tradisional di Russberg





Makan menjadi hobi keluarga besar kami hingga mengantarkan diri ke sebuah restoran tradisional, Krone di Russberg, kota Rietheim, Jerman yang menjadi rekomendasi bagi Anda untuk beristirahat sembari mengisi perut dengan menu tradisional andalan.

Seperti tahun lalu, dalam perjalanan keliling Jerman berkali–kali kami lewati tempat yang memajang besar–besar huruf cantik “Gasthaus Krone“ atau dialihbahasakan sebagai Restoran Mahkota. Kali ini aku tak menyangka, sekonyong–konyong mobil yang memiliki dudukan kursi berjumlah tiga di depan ini berhenti tepat di halaman parkir yang terbentang di dekat sebuah lapangan sepak bola nan hijau itu.

Mike tersenyum, rupanya Oma Helga ngotot mampir meski kami merencanakan makan di Mini golf restoran. Opa Werner hanya tersenyum dan berujar “Sudah lama tidak …“. Kutatap beberapa orang yang sedang minum–minum di dua set bangku kayu. Belahan pohon itu tertanam di pelatarannya hingga memberikan nuansa warna coklat dan memendarkannya pada sekawanan yang bersepeda itu.

Ya, bersepeda menjadi pilihan rakyat Jerman untuk menjaga stamina di musim panas yang suhunya naik turun, kadang bisa panas 38 derajat lalu tiba–tiba awan menggumpal dan hujan menurunkan suhu hingga 18 begitu seterusnya. Begitulah, lengkap dengan helm, kaos, celana dan sarung tangan khusus untuk bersepeda mereka ini melepas lelah di restoran yang di sana bertengger sebuah pohon besar di sayap kiri. Mirip pohon Ek. Kulihat meja panjang di depan mereka, rupanya draft beer menjadi pilihan pengantar pulang dan tidur. Jika saja mereka menyetir mobil, pastilah tidak boleh dan berabe pula jika ketemu polizei alias polisi yang biasa mengendarai mobil bercat hijau sekali itu.

Terlihat ceria, kami memilih duduk di kursi–kursi plastik warna putih tepat didepan pintu masuk. Pandanganku menerawang ke jendela kaca. Di sebelah kanan seonggok jerami berbentuk boneka menyunggingkan senyum. Sementara sebuah pohon Dewandaru asyik menemaninya, bersama si lucu Sosor Bebek. Sederhana tapi mencuatkan nilai tersendiri dari ketuaan restoran. Memang warga negeri ini menyukai pernak–pernik dan tanaman yang dipajang di jendela. Bukannya pamer tetapi mereka ini menyenangi seni estetika meski rumah–rumah di sana tampak sederhana dari luar dengan polesan warna tak kentara seperti krem, putih, hijau tentara dan kuning gading.

Mike, Opa dan Oma terduduk rileks setelah seharian kami jalan–jalan ke Baerenhoele, semacam Goa Jatijajar. Menu telah dipesan. Ketiga orang bertubuh besar itu tampak berbincang dengan teman lama yang tadinya duduk di deretan kursi lain. Sementara, aku, Chayenne dan Kelvin mengitari halaman restoran. Tiba–tiba Kelvin berteriak “Wahhh, ada ayamnya di belakang resto!“ Aku bilang seperti di Indonesia saja rasanya. Herannya jika mereka punya banyak ayam kenapa tak disediakan dalam menu ya? Jadi mengingatkan diri pada ayam cakar Pak Kawit belakang Matahari.



Kini kami kembali duduk satu meja. Selang seperempat jam, sebuah tampah kecil berbahan bambu berisi tiga bongkah roti disodorkan kemeja kami oleh seorang perempuan yang nampak sedang hamil muda.

“Kamu lihat perempuan berbaju pink itu?“ sedikit berbisik Michael mengarahkan matanya ke pojok, tempat para pemuda yang naik sepeda itu akan mengakhiri persinggahannya diresto dan berbincang dengan si wanita tadi.

“Ya, cantik tipikal Jerman“ timpalku seraya bernyanyi kecil untuk Chayenne.

“Bukan itu yang kumaksud, sejak aku kanak–kanak, Mama Papa selalu mengajakku kesini untuk menikmati makanan tradisional Russberg. Waktu itu tempat ini masih milik nenek dari wanita itu. Lucunya, terakhir kali aku kesini ia masih keciiiil sekali, sekarang sudah besar dan hamil lagi. Oh, ya roti dimeja ini namanya Holzoven Brot. Handmade lho! Sejak pemilik dan pembuat roti itu meninggal, kini diteruskan anaknya Frau Elfriede Hauser. Suaminya, Herr Erwin masih sodaraan dengan pak Wali Rietheim, Herr Traugot Hauser. Masih ingat dia kan? Kita bertemu pas jalan–jalan dan beliau sedang berjalan ke arah Trink und Frisch buat observasi area kekuasaannya?

Seperti kebanyakan orang Jerman Frau Hauser tak punya anak banyak, selain mahal juga repot katanya. Lha yang tadi mengantar makanan itu anak perempuannya…“Aku mengangguk–angguk tanda mengikuti ceritanya. Kupandangi roti berwarna putih dibagian tengah dan coklat di pinggirannya itu. Wah, keras sekali akut akut gigiku rusak mengunyahnya. Oma Helga cerita ini karena pembuatannya dengan oven kayu dan sudah berjalan lebih dari 30 tahun.

Aku lahap satu porsi Bratwurst berisi dua batang sosis. Sosis sapinya bikinan sendiri. Bungkusannya terbuat dari usus sapi yang telah dibersihkan lalu diisi daging dan digodog. Itulah sebabnya harus berhati–hati mengirisnya karena muncratan air panas bisa–bisa mengenai muka, tangan atau bagian tubuh lain. Jika dicermati ada dua menu tradisional yang diandalkan; Schwane Bauch dan Bratwurst dengan harga sama E 4,9. Biasanya Schwane Bauch akan ditambahi sauerkraut atau lalapan semacam irisan kol putih berasa sedikit asam. Aku mengelengkan kepala saat Oma dan Kelvin menawariku berukang kali. Tak suka yang masam, gigi dan perutku tak kuat.

Selain dua menu tadi, ternyata beberapa menu dingin ditawarkan seperti vesper, wurstsalat atau keese alias keju. Gasthaus yang tepat berada di pinggir jalan ini juga menyediakan sofa dan kursi pada ruangan dalam yang hangat, tepat di depan bartendernya. Terasa nyaman raut muka orang–orang yang bercengkerama sehabis menikmati menu yang dipilih. Angin tak banyak tertiup.

“Bizalen …,“ kata Oma untuk meminta bon alias membayar makanan dan minuman. Kulihat daftar harga minuman, bir seharga E1,80 pergelas, jus jeruk yang kecutnya minta ampun itu E 1,30 serta teh dan kopi E 2,50. Total kami membayar E 39. Sementara gelas yang pecah tak sengaja, gratis. Michael yang merasa bersalah, meringis dan ngeloyor pergi.

Di dalam mobil, Opa Werner menanyakan perihal kesanku pada resto yang baru saja kami singgahi. Aku tersenyum dan mengomentari sosis dan roti yang kulahap dengan sapaan, wundervoll. Demikianlah, jika Anda sedang lewat, mampirlah barang sejenak dan rasakan nikmatnya menyantap makanan tradisional dengan nuansa yang berbeda dari biasanya.

Gana Stegmann

No comments: