Monday, November 5, 2007

Dirndel

What is Dirndell?


That's traditional costum from Germany (Bavarian). Here is the article I wrote in Indonesian national newspaper.

KOMPAS,Update: Kamis, 03/08/2006, 11:37 wib
Dirndel, Baju Tradisional Jerman/Bavarian



Masih ingat dibenak ini ketika kanak – kanak ingin sekali memiliki pernak – pernik seperti kepunyaan bulik R.Ay Narti Kusuma sang penyanyi keroncong era 80–an itu. Seperti pepatah berakit – rakit kehulu berenang – renang ketepian, kata–kata ibu masih terngiang di telinga “…kamu harus banya belajar, bekerja dan menabung untuk mewujudkannya, tidak boleh asal tunjuk…”. Ya, aku yakin aku bisa.

Kini, kesukaan akan perhiasan bagi perempuan mengajak langkah untuk menilik koleksi keperempuanan hingga Jerman. Menatap jajaran sepatu boot koleksi dari great sale di Denmark beberapa tahun lalu, inisiatif muncul. Nampaknya ada yang kurang dari yang terlihat, ohh … baju yang pantas untuk memadu padankan sepatu berhak tinggi dan memanjang keatas itu. Akhirnya, pilihan jatuh pada Dirndel yakni baju khas masyarakat Jerman khususnya bangsa Scwabish atau Bavarian …

“Do you have traditional custom here in Germany (apa rakyat Jerman punya baju tradisional?), tanyaku suatu hari pada Mike yang nampak makin subur saat pulang kampong.

“Ofcourse we have but difficult to find it here, we can reach it at another town. My mum knows some places too … (tentu susah nyari disini tapi mungkin di kota sebelah ada. Mamaku tau kok sejumlah lokasi pusat penjualannya …)”.

Kami pun bergegas menuju sebuah tempat yang letaknya 1 jam dari Rietheim, butik Die Alb Ruft. Sebenarnya ada lagi butik tempat penjualan Dirndell yang terkenal, Graseger, di kota Garmisch – Patenkirchen, tetapi musti ditempuh selama 4 jam perjalanan dengan mobil. Rasanya tak sanggup. Menguap mencari udara segar, mata memandang pinggiran autoban atau jalan tol yang hijau. Berkali–kali Kelvin sudah tak sabar untuk sampai di tempat tujuan, namanya juga anak–anak.

Akhirnya kami telah sampai di tempat yang terlihat sepi. Sebuah rumah kayu yang sunyi. Tak kami lihat pengunjung satu pun ditoko pakaian tradisional itu. Mulut komat–kamit. Terpampang sebuah kalimat dalam bahasa Jerman di papan kayu yang antik “Die Alb Ruft!Landhaus&Tracht” atau Alb Ruft, rumah dan pakaian tradisional di kota Alb Statt. Turun dari mobil, kupandangi bangunan berlantai dua yang terletak dipinggir jalan. Memasuki halaman yang nampak asri dengan bunga yang berwarna berani itu membuat kami semakin ingin tahu apa yang ada di toko.



Tapak kaki kami menaiki tangga kayu. Di sebelah kiri terpajang dua manikan lelaki dan perempuan dengan pakaian tradisional Jerman yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Sedangkan desain interiornya nampak cantik dengan pedati mini, jerami, roda pedati, kupu–kupu dengan bebungaan, ranting kering dan masih banyak lagi. Tersiar kabar, bakalan ada pesta country disalah satu desa yang mewajibkan para penikmat kehidupan malam di malam panjang tersebut untuk memakai baju semacam ini dengan segala pernak–perniknya. Bisa jadi dengan hitungan hari, butik ini bakalan kebanjiran pembeli.

Memasuki pintu dilantai dua ini berjajar rapi perhiasan bermaterial perak harganya cukup tinggi. Mata mengerjap melihat kilauan bebatuannya. Sedikit terpana, menghitung hari keberapa hingga mampu terbeli dalam daftar belanja kami. Tak mengapa, toh tujuan pertama adalah baju tradisionalnya.

Sebelum menuju dirndel, tergantung disana–sini tas dari kulit warna coklat dengan rata–rata harga E 35. Beberapa langkah pada menit kelima, kami menatap gantungan baju di sana. Aduh, cantiknya. Baju untuk Damen atau perempuan disebut Dirndl atau Dirndldresses. Kucoba mematut diri dengan Blusen atau blus, Damen Lederhosen atau celana kulit perempuan, dan Schuhe atau sepatu. Lalu dengan seksama Oma dan Mike memberi komentar.

Jarum panjang telah berputar pada bundaran jam penuh, kini giliran Mike. Kami beriringan menuju stand Herren untuk laki–laki. Lelaki ganteng ini akhirnya memilih hemden atau kaos berbahan goni. Sebenarnya, ia ingin pula membawa pulang jacken atau jaket dan westen atau rompi. Sayang tak ada yang mengena dihati si pirang. Katanya ini sudah cukup untuk memadankan dengan Hüte atau topi miliknya waktu dulu. Hutschmuck atau topi dekorasi tampil menawan pada display modern butik. Agak kepanasan, Kelvin mengajakku turun. Minta pulang, rengeknya.

Sepulang dari sana, kami kegirangan memamerkan belanjaan pada Opa. Segera kami berganti baju dan mendokumentasikan aksi fotogenik di kebun belakang. Klik, klik … Oma fotographer dadakan mengabadikan kami dikamera digital yang sempat jatuh terantuk batu kemarin. Oh, senangnya. Baju ini rencananya akan kami pakai dalam setiap festival yang ada di Jerman yang kami bisa kunjungi seperti Okto fest, Ferilicht village fest, Traditional Market, Statt fest dan lain – lain.

Demikianlah shopping baju tradisional Jerman di negeri yang baru saja dinobatkan sebagai juara ketiga dalam World Cup oleh FIFA, federasi yang terpuruk soal korupsi dengan beredarnya issu dalam buku “FOUL“.

Sekadar ide saja, jika datang ke Jerman untuk membawa oleh–oleh baju tradisional ini pada musim panas Mei–Agustus lebih baik mencari informasi kapan dan dimana Floh Markt diselenggarakan dahulu. Di pasar barang second ini biasanya barang–barang termasuk baju tradisional Jerman, Turki, Skotlandia dan lain sebagainya masih dalam kondisi bagus dengan harga terjangkau dan bisa ditawar. Atau jika termasuk internet user mania, bisa melalui ebay atau pembelian semacam auction atau lelang melalui web mereka dengan harga dan kurun waktu tertentu.

Terduduk kelelahan di banana bench berpayung merah, kami ngobrol di depan kolam ikan yang ikannya pada mati karena algae melebar kepermukaan airnya. Oma Helga mulai berceloteh tentang sejarah dari Dirndl atau baju tradisional Jerman dan Austria atau Bavarian. Tuturnya, dirndl adalah baju perempuan yang ditiru dari Trachten atau baju tradisional masa lampau. Ini terdiri dari leibl atau atasan, blus, rok lebar dan apron yang berwarna–warni.

Ceritanya, Dirndel dahulu adalah rok yang biasa dikenakan pembantu perempuan. Dalam bahasa Austria “Dirn“ berarti pembantu. Kata itu memotong kata Dirndlgewand atau rok pembantu. Namun, sekitar tahun 1870/1880 setelah Kaisar Franz Joseph membuat Lederhosen atau celana kulit dan Tracht atau rok naik daun. Bisa ditebak, kalangan bangsawan mulai meniru dan memodifikasi gaya pakaian ini sebagai pakaian modern dan mengenakannya di kala liburan musim panas.

Mengingat bangsa Jerman tak mau kelupaan akan sejarah masa lampau, memakai Dirndel pada umumnya bagai simbol kebanggaan sebagai bangsa yang telah bersatu bersamaan dengan runtuhnya tembok Berlin ini. Sedangkan menilik material, warna dan gaya, boleh dibilang telah banyak dimasuki ide para manusianya.

Aku anggukkan kepala berkali–kali tanda mengerti dan berterima kasih kepada wanita yang telah berusia 60 tahun ini tapi masih cantik sekali dan enerjik. Tiba–tiba saja teriakan Opa melengking dari lantai dua mengagetkan kami, “Essen“. Ya, perut sudah keroncongan, waktunya makan! Pucuk dicinta ulam tiba!

Gana Stegmann

No comments: