Monday, November 5, 2007

Nepal

Here is my article in SUARA MERDEKA newspaper. It was from my experience during general assembly and training&networking of Network for Voluntary Development in Asia. For me, Nepal was wonderful. We stayed in the top of the mountain for almost 2 weeks where we could not eat beef as Hindust are there, where we had a chance to ride elephant and slept above sleeping bag. We found the modern toilet with traditional flush. When I seated on it was like an earthquake ... ha ha ... Oh and it was so cold there. I covered all my body except my face. I also spent the night in the traditional house was like in primitive age. Great. So dark and smell pig and sheeps. Dusts were also flying on the sky moving from the street as the trucks were here and there. Oh yeah ... sitting on the top of the truck was my best experience until I could not see as the dust knocked my eyes. Oi oi ...


Nepal Yang Menantang Petualang


NEPAL sering dikenal sebagai museum alam terbesar di dunia. Negara tersebut memang kaya dengan keunikan biodiversitas, posisi geografis, dan variasi latitudinalnya. Sementara, variasi hutan alaminya menjadikan Nepal sebagai wilayah dengan variasi ekosistem yang mengagumkan: jajaran gunung tertinggi di bumi, hutan tropis lebat dengan ragam kehidupan liarnya, bukit-bukit hijau, lembahyang membeku dan sungai-sungai yang membentang luas. Ke wilayah seperti itulah saya datang untuk sebuah urusan. Di bandara Tribhuvan Airport setelah penerbangan panjang dari Indonesia, transit di Singapura dan Thailand, Anda akan berbaris rapi di antara para pendaki dan pelancong lengkap dengan back-pack mereka.


Urusan visa memang tak begitu memusingkan di negara tersebut. Meskipun begitu, saya harus rela duduk tepekur dengan lutut tertekuk menunggu antrean yang panjangnya bak kereta api. Tak apalah, untuk urusan sekitar 15 menit itu harus dijalani berjam-jam antre demi sebuah cap pengetok pintu izin masuk negeri kerajaan itu. Visa di sana berlaku sebagai single entry sebulan, yang biayanya 25 dolar AS. Beberapa pertanyaan sederhana biasanya ditanyakan staf imigrasi. Apa tujuannya? Dengan siapa?


Kedatangan saya kali itu bukan semata-mata pelesir, tetapi untuk tujuan sosial tertentu. Yakni, membangun sebuah water tank bersama relawan dan penduduk lokal Bhorle di Distrik Chitwan yang sering kekeringan di musim kemarau. Tapi bagi staf imigrasi, saya tetaplah seorang adalah turis.


Biasanya kita harus pusing dan deg-degan dengan birokrasi kedutaan di Jakarta yang bisa berminggu-minggu untuk minta izin tinggal kurang dari sebulan. Sudah begitu, sering pula ditolak untuk beberapa alasan tertentu. Nepal memang membuka diri lebar-lebar untuk menjual aset budaya dan wisata demi rakyatnya yang tergolong masih miskin.


Sebelum keluar pintu bandara, saya menukar dolar dengan mata uang Nepal secukupnya untuk jaga-jaga. Perlu diingat untuk tidak lupa meminta receipt atau kuitansi penukaran karena pada akhirnya nanti uang rupee tidak bisa kita tukar dengan mata uang apa pun dan di mana pun, kecuali dengan bank atau money changer di Nepal. Itu pun dengan menunjukkan tanda penukaran tersebut. Jika tidak, payahlah kalau kita ingin menukarkannya nanti. Kabarnya ini menghindari money laundering atau pencucian uang. Di luar itu, ada sedikit masalah untuk memahami uang mereka, kecuali tulisan angkanya. Pecahan uang kertas Nepal adalah 1.000, 500, 100, 50, 20, 10, 5 , 2 dan 1, plus beberapa jenis uang logam.


Tak seorang pun menjemput saya di bandara. Sedih juga. Biasanya, relawan yang datang ke Indonesia akan mendapat sambutan hangat, misalnya dijemput di bandara. Barangkali bukan hari baik buat saya. Dalam email sebelumnya panitia, Prakash dari NIFC, organisasi lokal yang mengundang saya, mengatakan akan mengirim seseorang sebagai pemandu menuju camp site atau meeting point.


Olala, di mana dia? Saya baca semua kertas bertuliskan nama-nama penumpang yang harus dijemput di bandara kecil dan sederhana ini. Mungkin saya terlihat sebagai orang yang kebingungan sehingga mengundang aksi para sopir taksi mendatangi saya. Lalu, saya menelepon kantor organisasi lokal melalui wartel di sisi kanan pintu keluar. Sudarshan dari kantor itu bilang, sang penjemput sudah menunggu di bandara. Saya menghabiskan 40 rupee untuk jasa wartel. Lagi-lagi saya harus bolak-balik dari pintu keluar ke koridor luar.


Tiba-tiba seorang lelaki tinggi besar menyapa, "Are you Gana ? Lelaki itu, Pramod, ternyata adalah manajer tempat kami menginap di tempat pertemuan. Saya gembira tentu saja.Tadinya sudah sangat khawatir harus mencari lokasi pertemuan melalui jalan-jalan yang rada rawan di sekitar bandara. Menurut informasi yang saya peroleh, pemberontak Maois sering bentrok dengan petugas keamanan di wilayah sekitar bandara. Itu sebabnya beberapa teman dari Eropa tidak datang mengingat organisasi tidak mau memberi jaminan keamanan karena Nepal termasuk daerah rawan.


Beberapa menit kemudian, Pramod, saya, dan turis asal Perancis menuju Hotel Encounter di Tamel, Kathmandu. Ada beberapa kamar dengan rate berbeda dari 5-30 dolar AS per malam. Saya sekamar dengan relawan asal Australia, Thy.


***


Jembatan bantuan Denmark di Bhorle


BEGITU masuk kamar, saya sudah sangat ingin melihat panorama sekitar. Saya mencoba naik ke atap hotel. Di bawah, beberapa siswa SMA tampak sedang bergembira merayakan kelulusan. Salah seorang gadis lincah menari dengan baju India, merah menyala. Saya mencermati bangunan-bangunan di sekitar hotel. Penuh bebukitan. Agak mirip Kawasan Dieng.


Dingin mulai menyerang saat hari mulai gelap. Pramod mengajak berkeliling menikmati suasana sekitar kami menginap dan makan malam di sebuah resto mewah. Di situ, kami bisa menikmati musik dan nyanyian tradisional Nepal. Dua penyanyi beraksi.


Kami larut dalam musik dan ikut menari. Tarian kami semakin "heboh" ketika John, pelancong dari Amerika Serikat berdendang sembari bergerak-gerak meniru tarian penari asli. Aksinya mengundang tawa kami.


Mendadak dia menarik saya dari kursi. Saya agak ngantuk dan tak begitu berselera. Tapi alunan musik yang agak mirip dangdut itu mulai menggoda saya untuk beranjak dari posisi diam. Wah, badan kami mulai hangat setelah menggoyang-goyangkan badan beberapa saat.


Tak beberapa lama kemudian, makanan yang kami pesan telah siap di meja. hampir semua menu yang tersaji serba mengandung jahe, baik makanan maupun minuman. Tapi itu sangat bermanfaat bagi tubuh kami sehingga setelahnya bisa tidur pulas di gigilan udara sangat sangat dingin. Dinginnya bahkan seolah-olah tak bisa diusir dengan baju tidur berlapis-lapis plus selimut tebal. Apalagi, kamar di hotel kami tak ada mesin pemanasnya.


Keesokan harinya, selepas salat Subuh saya sempat termangu di keheningan pagi Kota Katmandu. Saya menyusuri Jalan Tamel yang menjadi pusat perbelanjaan, mirip Jalan Malioboro di Yogyakarta. Di situ tergelar beragam barang dan kebutuhan. Selain kain sari, dhalbat (nasi dan kari khas Nepal-Red), kaset, toko kelontong, dan suvenir buatan tangan khas Nepal, pengunjung yang ke situ pasti tergiur untuk menikmati Momo. Itu makanan tradisional asal Tibet yang di Jalan tamel itu dijual di warung pojok tepat di depan jalan besar. Daging kerbau gelindingan yang diramu dengan bawang dan bebumbuan lain khas Tibet membuat kami merasakan kepuasan tersendiri. Lezat dan khas.


Di pasar-pasar Nepal, seperti yang Anda jumpai misalnya di Pasar Johar, pembeli harus pintar-pintar menawar sebelum bertransaksi, kalau tidak ingin kemahalan. Sekadar contoh soal harga-harga barang di sana, kain sari berbahan sutra harganya 1.000 rupee per pasang, sedangkan yang berbahan katun berkisar 500-700 rupee. Boneka dewa dengan muka berbeda yang mirip marionette (golek dengan tali-temali untuk menggerakkannya) berharga 100-300 rupee, dompet kain 10 rupee. Begitu pula, berbagai topi pria khas Nepal yang sering kita lihat dipakai tokoh India Jawaharlal Nehru, tersedia dengan berbagai ukuran dan harga. Motifnya agak mirip dengan lurik Jateng tapi dengan warna yang lebih berani seperti tenun Makassar.


Di luar itu semua, betapa cantik dan romantisnya ibukota Kerajaan Nepal. Asal tahu saja bahwa letak geografis Nepal yang spektakuler kabarnya juga menjadi pemandangan budaya terkaya seantero jagad, meskipun harus diiringi kekhawatir karena hampir selalu ada pemeriksaan di titik-titik daerah tertentu. Identitas, tas, dan tak terkecuali tubuh digeledah dengan serius. Syukurlah, itu tak berlaku untuk orang asing dan hanya orang lokal yang mendapat perlakuan rutin yang sesekali menjengkelkan.


Cukup sering saya mendengar para petugas menginterogasi beberapa teman lokal kami dengan bahasa Nepal. Terdengar unik di telinga. Ya, bahasa itu merupakan keelokan lain di sana mengingat keragaman etnis dan subgrup di Nepal memiliki 70 bahasa dan dialek. Namun tak perlu khawatir jika Anda tidak menguasai bahasa Nepal. Sebab, beberapa generasi mudanya mulai mampu berbahasa Inggris. Jadi, bahasa tak lagi jadi kendala bagi siapa pun untuk menikmati perjalanan di Kerajaan Nepal yang agung.


Wilayahnya begitu eksotis dengan gunung-gunung yang memikat pandang. Sayangnya, isu mengenai aksi para pemberontak Maois ikut melesukan kondisi pariwisata Nepal. Walaupun begitu, turis atau pecinta alam atau pendaki gunung dari mancanegara masih begitu bergairah datang untuk mencoba menaklukkan Puncak Everest yang masyhur itu. Cerita mengenai sukarnya medan di pegunungan yang ada dan telah menelan banyak korban jiwa tak menyurutkan naluri petualangan mereka. Satu hal lagi, kabar hilangnya orang di sebuah pegunungan Nepal bukanlah kabar yang heboh. Ya, Nepal bak perawan garang yang menantang sang petualang.(Gaganawati DPH-25)


***


Bhorle dan Chitwan


SM/Gaganawati


SEBUAH daerah yang tak bakal saya lupakan selama perjalanan bersama tim Network for Voluntary Development in Asia adalah Bhorle. Daerah tersebut memberi gambaran mengenai karakter asli orang Nepal yang terkesan primitif, sederhana, ramah, dan eksotis. Rumah-rumah mereka terbuat dari batu beratap rumbia yang berdiri memenuhi sebuah bukit. Umumnya, setiap keluarga memiliki sebuah rumah utama dengan listrik 5 watt, plus sebuah rumah kecil yang gelap untuk dapur dengan kompor berbahan bakar kayu, serta sebuah kandang hewan untuk kerbau atau kambing di samping rumah utama. Selain itu, ada beberapa keluarga yang mengolah anggur untuk menjadi minuman. Kabarnya arak mereka ini terkenal sedap. Ironisnya, impor bir Tuborg asal Denmark merajai di segala penjuru Nepal.


Di daerah tersebut tinggal Suku Bhorle. Suku itu memiliki seorang kepala suku yang berperan pula sebagai kepala desa. Dia juga terkenal karena tariannya. Kami sempat dijamu dengan tarian dan musik khas Bhorle oleh masyarakat setempat. Yang menarik, kami selalu mendapat kalungan bunga dari rangkaian dedaunan dan bebungaan saat sebagai ungkapan "selamat datang dan perpisahan".


Oya, sebelum berangkat saya sempat membawa makanan instan dari Indonesia plus bumbu-bumbu instan. Salah satu bumbunya ada yang berlabel dengan gambar sapi. Tapi kalau itu saya keluarkan saat bersama orang Bhorle, wah bisa berabe! Kenapa?Mereka menolak makan makanan yang mengandung sapi. Sapi adalah hewan yang disucikan di sana, jadi dilarang dimakan. Terpaksa bumbu instan itu saya simpan rapi di saku-saku tas troli agar mereka tak tersinggung. Untuk memperdalam keakraban dengan mereka, saya membagi uang koin rupiah kepada anak-anak kecil Bhorle. Betapa senangnya mereka menerima pemberian itu.


Kembali ke Suku Bhorle, pagi-pagi sekali, kaum perempuan biasanya menyapu tangga-tangga rumah sebelum pergi ke ladang. Kalau mereka panen, biasanya mereka menumpang truk atau bis yang kebetulan lewat untuk membawa diri mereka beserta hasil panenan. Memikat sekali menyaksikan para wanita yang memakai ikat kepala dari kain duduk di mobil tumpangan menuju suatu tempat.


Menyusuri jalur jalan bertrapyang memisahkan wilayah Suku Bhorle dengan jalan raya, kita bisa melihat sungai yang airnya beraneka warna: hijau, kuning, dan coklat. Sungai itu membentang panjang di depan desa lainnya. Sungai cantik tersebut juga menawarkan atraksi rafting sesekali waktu. Selain itu, sebuah jembatan dibangun di sana untuk menghubungkan desa yang satu dengan desa lainnya.


Di mulut jembatan, ada beberapa warung yang menjajakan daging kerbau goreng yang gurih dan bir di ruangan kecil berpendar lilin. Asal tahu saja, kalau ketempat-tempat itu, kita harus ekstra hati-hati dalam menyebrang. Sopir-sopir truk dan bis Nepal memang terkenal gila dalam mengemudi. Kecelakaan sering terjadi. Meskipun begitu, toh banyak pula penumpang yang malah duduk di atap bus yang bergerak cepat, semnetara di kanan kiri jalan sempit yang dilintasinya hanyalah jurang dan jurang. Anda mungkin tercekam ngeri, tapi tidak bagi penduduk Nepal yang terbiasa dengan itu. Oya, di Nepal yang dingin itu, yang berseliweran di jalanan kebanyakan motor besar, bukan motor bebek seperti di sini.


***


Untuk refreshing, dari Bhorle kami rela menempuh perjalanan panjang dengan bis menuju Taman Nasional Chitwan. Itu taman yang mengasyikan dan tempat kunjungan yang tak mungkin dilupakan pelancong di Nepal.


Dalam perjalanan dengan bis sewaan, kami menikmati kerupuk yang mirip semier sembari menikmati alunan musik Nepal di dalam bis. Sebagian teman, duduk di atas bis atap bis. Hanya saja, kecepatan bis kami tak seperti kebanyakan bis lainnya yang melaju kencang.


Sesampainya di pondok "Jungle", kami disuguhi dua tarian Suku Taro. Pertama merupakan tarian perang dengan menggunakan stik yang dibawakan 20 penari laki-laki berpakaian putih-putih dalam iringan kendang. Tarian kedua menggambarkan percintaan, namun penari wanita adalah pria berdandan ala wanita lengkap dengan kosmetik dan rok lebarnya. Tak seorangpun yang menjelaskan mengapa tak ada penari perempuan di sini. Perkiraan saya, gerakan tariannya yang terlalu rancak mungkin sangat melelahkan bagi wanita. Taman Nasional Chitwan juga menawarkan pondok-pondok seperti rumah panggung yang nyaman dikelilingi pepohonan dan beberapa hewan seperti burung, anak gajah, dan anak badak. Paginya, kami berkeliling taman itu dengan naik gajah. Selain badak, kami beruntung melihat burung-burung cantik yang liar, juga rusa liar.


Selepas perjalanan tiga berkeliling hutan, kami beristirahat di tempat penangkaran gajah. Dari tempat itu, lamat-lamat saya melihat semburat putih menyelimuti sebuah gunung di kejauhan. Aha, itu Himalaya, gunung dengan puncak tertinggi di dunia hingga lebih dari 8.000 meter di atas permukaan laut. Puncak Everest. Kemasyhuran dan tantangan yang ditawarkannya sudah menjadi cerita yang umum.(Gaganawati DPH-25)



No comments: