Let's Walk to My Village, folk!
Sunday, October 28, 2007
Welcoming Indonesia's Independence Day 2007
Okeyyyyyyyyyy, Indonesian community at 360 (Ingrid in UK, Cesilia in PNG, Tina in DE, Tika in US, Noer in HK, Budi-Lusy-Nia cs in INA …) sent me alert not to forget Indonesian Independence Day (17.8.2007) though we are far and away from our beloved country … Everyone has a duty to organize the ceremony on line. Ha-ha! We need to change our avatar and background with Indonesian identity (white and red flag, traditional costum, traditional food or other things) hurry uppppp.
Well, we did one of the play … filling water in bottles last July 2007. I was the first winner, Kelvin the runner up and Chayenne the third place as we were only three participants. Looking forward to another game at 17th!
Ya, it’s clear in my mind how we usually celebrated it annually, while the solemn ceremonies are taking place, neighborhoods gear up for fun and games for the kids. “Krupuk” (shrimp chips) eating contests, bike decorating, games, races and lots of fun fill the day. The women are busy in cooking contests to see who can make the biggest krupuk or the most delicious “nasi tumpeng” (yellow rice in cone’s form as you can read in my highlight). One of the most popular games is the “Panjat Pinang”. But we can’t do it as my palm is still 40 cm long. Hahahaaaa … An Areca palm trunk is erected in a public area and well greased with a mixture of clay and oil. At the top are hung various prizes like bikes and TVs. Whoever makes it to the top wins the prize. Needless to say there are a lot of slippery, muddy kids and grownups alike climbing over each other and struggling to reach the goal. A good time is had by all, especially the crowd watching the gaiety. Neighborhood associations often coordinate special activities for the neighborhood children and may request donations from homeowners to sponsor games and prizes for the children. Schools hold contests to see which class can decorate their room in the most patriotic manner as well as holding games and races amongst classes. I was the winner with coconut race (“kadang – kadang”?) in Manila, Philippines (it was a bit surprise to know we have similar traditional games). Yihaaaaaaa.
Neighborhood associations, or your local “RT” (neighborhood head), may organize a clean up of the area or “kerja bakti”. Drains are swept, weeds are cut back, debris is burned and public areas are repainted. Women are asked to provide snacks to the hard working men. Homeowners may be requested by the “RT” to fly the Indonesian flag for a set period of time before and after the holiday. As we live in Germany and become a minority so … we do at home ourselves. Clean here and there … All right, enjoy our video yaaaa … salam jrennnnnnnnnnnggggg …
p.s: The song I sang in toilet was one of Indonesian songs. Hi hi ... Chayenne took my camera caused the earthquake in the ending of this video J
Filling bottles with water
My First Travel To Overseas
Here is my article in the national newspaper in my country. It was in my 19. My parent cried letting my hands caught the plane. But I would like to go. I had to go, the scholarship was only for ME. God, Indonesian Red Cross was really fantastic to me. They managed all. I was like a bird. I still remember when I was kid, I said I wanna be an ambassador then I can travel around the world. I did it ... even not as an ambassador but I was an ambassador of mine and what I have.
KOMPAS Update: Selasa, 15/08/2006, 10:37 wib
Cebu, Bali–nya Filipina
|
|
Gawe akbar se Asia Pasifik bertajuk Sub Regional Youth Summit mengundang niatan untuk mengikuti seleksi di PMI Daerah Jateng. Seleksi ketat bersama peserta yang aku angkat topi betul membuat keder, surprise–surprise … akhirnya aku terpilih. Ini kali pertama aku keluar negeri, masih culun sekali. Sembilan belas tahun! Sepuluh tahun kemudian, ingatan itu masih lekat dalam neuron berwarna abu–abu di kepalaku.
Pak Sartoto, Mas Lucky, Pak Nasrun, Bu Yayuk, Bu Sharlita dan beberapa crew PMI SMA 2 Semarang sampai tingkat pusat membantu persiapan keberangkatan. Langkah gontai menggotong koper bapakku Setyadji Pantjawidjaja yang sudah tak baru. Aku terharu, orang tuaku waktu itu berlinang airmata melepas kepergianku yang tak lama, hanya dua minggu. Untung aku tak sendiri, karena Khong Khong terbang bersamaku dari Jakarta kesana. Jadilah perjalananku tak jemu–jemu.
Aku ditransfer burung besi dari Manila airport ke Cebu. Setiba di kota yang ditemukan Ferdinand Magellan ini, aku termangu. Ramai dan banyak bangunan tua menyapa disana–sini. Di Decs Ecotech Center tempat hunianku, telah hadir duta putra–putri dari Malaysia, China, Korea, Hongkong, Thailand, Laos, Myanmar, Australia, Jepang, Singapura, Vietnam, dan Filipina sebagai tuan rumah. Aku gelengkan kepala, banyak benar orang yang berbaju putih. Oh, rupanya mereka ini adalah siswa sekolah perawat dan kedokteran yang mengikuti beberapa bagian dalam summit IFRCRCS ini. Mabuhay! Tersiar kabar pula bahwa negeri asal Maribeth ini banyak mengirim TKW perawat keluar negeri. Ah, jadi ingat istri Uncle JC yang pernah jadi perawat di Amrik.
|
Hari berganti hari, usai sudah program yang dipenuhi diskusi, studi banding, ceramah dan yang pasti tak ketinggalan cultural exchange–nya. Kini didua hari terakhir, kami jalan–jalan di pulau yang memiliki luas tanah 5,088 kilometer persegi ini. Jeepney tak mampu memberi tumpangan rombongan. Hopla! Jadilah bus yang bolong alias berjendela tiada kaca mengantar kami mengitari daerah yang bergunung–gunung.
Kali ini tujuan kami adalah menilik paras ayu Cebu sebagai bagian dari negeri yang pernah dikuasai dua wanita perkasa Corazon Cojuangco Aquino tahun 1986 dan Gloria Macapagal Aroyo mulai 2000. Singkat cerita festival Sinulog, Magellan Cross dan benteng San Pedro terbetik dalam bait jadwal excursion kami. So, kesempatan untuk mendaki gunung Cabalasan 1,002 meter atau gunung Manungal 1000 meter tak mungkin tercapai. Semilir angin meniup rambutku yang panjang dan menepuk pipi tembemku. Sepanjang mata memandang, aliran sungai besar seperti Cabiangon dan Baliuagan menyegarkan tanah yang sering dilanda banjir dan erosi pada musim hujan dan kering di musim panas.
Bus mandeg dan ngeceng di halaman parkir. Berduyun–duyun kami menuju pusat keramaian. Genderang dan beragam musik tradisional lainnya memekakkan telinga dan membuat kami sedikit bergoyang sambil meringis. Ayayay, panas harus tak kuhiraukan karena terlihat barisan yang rapi nan warna–warni itu menampakkan keagungan sebuah festival yang kabarnya merupakan peringatan untuk Santo Nino. Sinulog hanya diselenggarakan pada bulan Januari pertahunnya.
Anamae yang selalu setia menemaniku mulai mencoreng moreng mukaku dengan jelaga, terus menarik tanganku untuk ikut dalam barisan yang menari itu. Tradisional sekali. Terik menjatuhkan tetesan keringat pada tubuhku. Seorang penjaja makanan mendatangi kami. Temanku yang sekolah perawat itu menerangkan, si penjual menawarkan balut, telur bebek matang yang sudah keluar bulunya. Spontan kuangkat lima buah jari tangan kananku pertanda tak mau. Kuseka keringat hingga bola mataku melihat beberapa peserta mulai kepayahan meski jatah mereka manggung satu persatu bak ular naga.
Jeffrey yang didaulat sebagai pemimpin rombongan meminta kami masuk ke dalam bis warna hijau tua itu, waktunya ke Magellan Cross. Tak berapa lama, kami injakkan ke sebuah tempat yang menarik. Disinilah momentum bersejarah Cebu dibidik. Ya. Cebu konon dikategorikan sebagai pulau ketiga terpenting diantara pulau–pulau Filipina, setelah Luzon dan Mindanao. Wow! Jadinya, Kota Cebu adalah kota metropolis kedua yang sangat penting setelah Metro Manila.
“Gana, ini tempat pertama kali pelaut asal Portugis Ferdinand Magellan yang menjadi duta Spanyol berhenti dalam ekspedisi ke Asianya di Cebu. Lelaki kelahiran 1480 itu meninggal 27 April 1521 di Hindia Timur sebelum kembali ke Eropa. Sedangkan delapan belas crew–nya kembali ke Spanyol pada tahun 1522. Menurut sejarah, wafatnya Magellan karena bertempur melawan Lapu–lapu. Belakangan Lapu–Lapu menjadi salah satu nama kota dan jalan di Cebu.
Lapu–Lapu yang lahir pada tahun 1490, dikenal sebagai seorang pahlawan Muslim di Pulau Maktan, Cebu, Filipina. Penguasa Maktan inilah yang menantang Magellan lantaran disuruh memilih tiga opsi: taat kepada Raja Spanyol, mengakui kepala suku Humabon sebagai tuannya, dan bayar upeti. Tentu saja jawabannya adalah tidak.
Anamae B Gever membenahi kacamatanya yang melorot. Katanya pula crew Magellan yang ikut juga ada yang berasal dari Italia, Australia dan Malaysia. Kupandangi gambar Ferdinand Magellan membaptis Raja Humabon sebagai penguasa Cebu, berikut 800 pengikutnya menjadi umat Katolik. Langit – langit altar itu berwarna–warni dan apik, kentara menjelaskan sejarah masa lampau. Jasad Magellan tak berbekas hingga kini disembunyikan Lapu – Lapu. Ia dikenang jasanya menjadikan Filipina, bangsa berpenduduk mayoritas Katolik. Lapu–Lapu sendiri diakui sebagai Pahlawan Filipina yang gagah berani melawan imperialisme Barat.
Matahari perlahan mulai turun dari singgasananya. Giliran benteng San Pedro kami jajaki. Aku dan gadis yang memakai bagel pink itu berlarian memegangi meriam Spanyol yang besar–besar dan nampak sangat tua itu. Klik, sok fotogenik aku bergaya. Sebelum kembali ke Ecotech, membeli souvenir menjadi pilihan kami. Kupilih satu set perhiasan dari siput laut warna putih, cantik. Teman–teman lain ada yang membeli hiasan lampu dari kerang, kain pantai, sapu tangan, topi, gitar dan masih banyak yang lainnya. Waktu itu satu peso kira–kira sama dengan seratus rupiah, sekarang ini $1 = PHP 52,7. Macam mata uangnya adalah PHP (Philippine Peso) 1000, 500, 100, 50, 20, 10 and 5 dengan koin PHP5, 2 and 1, serta 50, 25 and 10 sent. Gambar – gambar mantan presiden dan bunga melati menjadi satu dari sekian banyak symbol yang dipilih. Seingatku ada kata–kata Tagalog seperti Bagong.
Hari berikutnya hanya shopping di mal dan tak terasa jadwal departure tiba. Di airport, kulambaikan tangan pada mereka yang menganjurkan membawa travel check dalam mata uang dollar Amrik. Selain aman juga keuntungan dalam penukarannya di area yang kaya akan anggur, mangga, gitar, tembaga, emas, batubara, besi, perak dan pyrite ini. Adyos senor – senorita, mahal kita!
Gana Stegmann
Here is my article in the national newspaper in my country. It was in my 19. My parent cried letting my hands caught the plane. But I would like to go. I had to go, the scholarship was only for ME. God, Indonesian Red Cross was really fantastic to me. They managed all. I was like a bird. I still remember when I was kid, I said I wanna be an ambassador then I can travel around the world. I did it ... even not as an ambassador but I was an ambassador of mine and what I have.
KOMPAS Update: Selasa, 15/08/2006, 10:37 wib
Cebu, Bali–nya Filipina
|
|
Gawe akbar se Asia Pasifik bertajuk Sub Regional Youth Summit mengundang niatan untuk mengikuti seleksi di PMI Daerah Jateng. Seleksi ketat bersama peserta yang aku angkat topi betul membuat keder, surprise–surprise … akhirnya aku terpilih. Ini kali pertama aku keluar negeri, masih culun sekali. Sembilan belas tahun! Sepuluh tahun kemudian, ingatan itu masih lekat dalam neuron berwarna abu–abu di kepalaku.
Pak Sartoto, Mas Lucky, Pak Nasrun, Bu Yayuk, Bu Sharlita dan beberapa crew PMI SMA 2 Semarang sampai tingkat pusat membantu persiapan keberangkatan. Langkah gontai menggotong koper bapakku Setyadji Pantjawidjaja yang sudah tak baru. Aku terharu, orang tuaku waktu itu berlinang airmata melepas kepergianku yang tak lama, hanya dua minggu. Untung aku tak sendiri, karena Khong Khong terbang bersamaku dari Jakarta kesana. Jadilah perjalananku tak jemu–jemu.
Aku ditransfer burung besi dari Manila airport ke Cebu. Setiba di kota yang ditemukan Ferdinand Magellan ini, aku termangu. Ramai dan banyak bangunan tua menyapa disana–sini. Di Decs Ecotech Center tempat hunianku, telah hadir duta putra–putri dari Malaysia, China, Korea, Hongkong, Thailand, Laos, Myanmar, Australia, Jepang, Singapura, Vietnam, dan Filipina sebagai tuan rumah. Aku gelengkan kepala, banyak benar orang yang berbaju putih. Oh, rupanya mereka ini adalah siswa sekolah perawat dan kedokteran yang mengikuti beberapa bagian dalam summit IFRCRCS ini. Mabuhay! Tersiar kabar pula bahwa negeri asal Maribeth ini banyak mengirim TKW perawat keluar negeri. Ah, jadi ingat istri Uncle JC yang pernah jadi perawat di Amrik.
|
Hari berganti hari, usai sudah program yang dipenuhi diskusi, studi banding, ceramah dan yang pasti tak ketinggalan cultural exchange–nya. Kini didua hari terakhir, kami jalan–jalan di pulau yang memiliki luas tanah 5,088 kilometer persegi ini. Jeepney tak mampu memberi tumpangan rombongan. Hopla! Jadilah bus yang bolong alias berjendela tiada kaca mengantar kami mengitari daerah yang bergunung–gunung.
Kali ini tujuan kami adalah menilik paras ayu Cebu sebagai bagian dari negeri yang pernah dikuasai dua wanita perkasa Corazon Cojuangco Aquino tahun 1986 dan Gloria Macapagal Aroyo mulai 2000. Singkat cerita festival Sinulog, Magellan Cross dan benteng San Pedro terbetik dalam bait jadwal excursion kami. So, kesempatan untuk mendaki gunung Cabalasan 1,002 meter atau gunung Manungal 1000 meter tak mungkin tercapai. Semilir angin meniup rambutku yang panjang dan menepuk pipi tembemku. Sepanjang mata memandang, aliran sungai besar seperti Cabiangon dan Baliuagan menyegarkan tanah yang sering dilanda banjir dan erosi pada musim hujan dan kering di musim panas.
Bus mandeg dan ngeceng di halaman parkir. Berduyun–duyun kami menuju pusat keramaian. Genderang dan beragam musik tradisional lainnya memekakkan telinga dan membuat kami sedikit bergoyang sambil meringis. Ayayay, panas harus tak kuhiraukan karena terlihat barisan yang rapi nan warna–warni itu menampakkan keagungan sebuah festival yang kabarnya merupakan peringatan untuk Santo Nino. Sinulog hanya diselenggarakan pada bulan Januari pertahunnya.
Anamae yang selalu setia menemaniku mulai mencoreng moreng mukaku dengan jelaga, terus menarik tanganku untuk ikut dalam barisan yang menari itu. Tradisional sekali. Terik menjatuhkan tetesan keringat pada tubuhku. Seorang penjaja makanan mendatangi kami. Temanku yang sekolah perawat itu menerangkan, si penjual menawarkan balut, telur bebek matang yang sudah keluar bulunya. Spontan kuangkat lima buah jari tangan kananku pertanda tak mau. Kuseka keringat hingga bola mataku melihat beberapa peserta mulai kepayahan meski jatah mereka manggung satu persatu bak ular naga.
Jeffrey yang didaulat sebagai pemimpin rombongan meminta kami masuk ke dalam bis warna hijau tua itu, waktunya ke Magellan Cross. Tak berapa lama, kami injakkan ke sebuah tempat yang menarik. Disinilah momentum bersejarah Cebu dibidik. Ya. Cebu konon dikategorikan sebagai pulau ketiga terpenting diantara pulau–pulau Filipina, setelah Luzon dan Mindanao. Wow! Jadinya, Kota Cebu adalah kota metropolis kedua yang sangat penting setelah Metro Manila.
“Gana, ini tempat pertama kali pelaut asal Portugis Ferdinand Magellan yang menjadi duta Spanyol berhenti dalam ekspedisi ke Asianya di Cebu. Lelaki kelahiran 1480 itu meninggal 27 April 1521 di Hindia Timur sebelum kembali ke Eropa. Sedangkan delapan belas crew–nya kembali ke Spanyol pada tahun 1522. Menurut sejarah, wafatnya Magellan karena bertempur melawan Lapu–lapu. Belakangan Lapu–Lapu menjadi salah satu nama kota dan jalan di Cebu.
Lapu–Lapu yang lahir pada tahun 1490, dikenal sebagai seorang pahlawan Muslim di Pulau Maktan, Cebu, Filipina. Penguasa Maktan inilah yang menantang Magellan lantaran disuruh memilih tiga opsi: taat kepada Raja Spanyol, mengakui kepala suku Humabon sebagai tuannya, dan bayar upeti. Tentu saja jawabannya adalah tidak.
Anamae B Gever membenahi kacamatanya yang melorot. Katanya pula crew Magellan yang ikut juga ada yang berasal dari Italia, Australia dan Malaysia. Kupandangi gambar Ferdinand Magellan membaptis Raja Humabon sebagai penguasa Cebu, berikut 800 pengikutnya menjadi umat Katolik. Langit – langit altar itu berwarna–warni dan apik, kentara menjelaskan sejarah masa lampau. Jasad Magellan tak berbekas hingga kini disembunyikan Lapu – Lapu. Ia dikenang jasanya menjadikan Filipina, bangsa berpenduduk mayoritas Katolik. Lapu–Lapu sendiri diakui sebagai Pahlawan Filipina yang gagah berani melawan imperialisme Barat.
Matahari perlahan mulai turun dari singgasananya. Giliran benteng San Pedro kami jajaki. Aku dan gadis yang memakai bagel pink itu berlarian memegangi meriam Spanyol yang besar–besar dan nampak sangat tua itu. Klik, sok fotogenik aku bergaya. Sebelum kembali ke Ecotech, membeli souvenir menjadi pilihan kami. Kupilih satu set perhiasan dari siput laut warna putih, cantik. Teman–teman lain ada yang membeli hiasan lampu dari kerang, kain pantai, sapu tangan, topi, gitar dan masih banyak yang lainnya. Waktu itu satu peso kira–kira sama dengan seratus rupiah, sekarang ini $1 = PHP 52,7. Macam mata uangnya adalah PHP (Philippine Peso) 1000, 500, 100, 50, 20, 10 and 5 dengan koin PHP5, 2 and 1, serta 50, 25 and 10 sent. Gambar – gambar mantan presiden dan bunga melati menjadi satu dari sekian banyak symbol yang dipilih. Seingatku ada kata–kata Tagalog seperti Bagong.
Hari berikutnya hanya shopping di mal dan tak terasa jadwal departure tiba. Di airport, kulambaikan tangan pada mereka yang menganjurkan membawa travel check dalam mata uang dollar Amrik. Selain aman juga keuntungan dalam penukarannya di area yang kaya akan anggur, mangga, gitar, tembaga, emas, batubara, besi, perak dan pyrite ini. Adyos senor – senorita, mahal kita!
Gana Stegmann
Gain Indonesian Language With Me ...
Good day = selamat siang
Good afternoon = selamat sore
Good evening = selamat malam
How are you? = apa kabar?
Fine = baik
Not so good = buruk
I'm sick = saya sakit
I'm tired = saya lelah
I'm fit = saya sehat/kuat
You're so beautiful = kamu cantik sekali
You're so handsome = kamu tampan sekali
You're so kind = kamu baik hati sekali
I love you = saya cinta kamu
I hate you = saya benci kamu
Thank you = terima kasih
Sorry = maaf
Please = tolong
Nice to meet you = senang bertemu denganmu
See you = sampai jumpa
One = satu
Two = dua
Three = tiga
Four = empat
Five = lima
Six = enam
Seven = tujuh
Eight = delapan
Nine = sembilan
Ten = sepuluh